Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di Pedalaman
Guru sering kali disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Jasa mereka untuk mencerdaskan bangsa layak diacungi jepol. Berkat para guru banyak orang pintar yang akhirnya membuat negara semakin maju. Namun apakah semua guru berhak mendapat julukan tersebut?
Meski berstatus sebagai guru namun terkadang nasib bisa berbeda. Contohnya saja soal penghasilan, tunjangan, fasilitas dan sebagainya. Mereka yang menjadi guru di kota besar seperti Jakarta tentu lebih baik di banding para guru di pedalaman.
Salah satu kisah guru di pedalaman adalah Ade Rahayu. Mahasiswa teknik Universitas Indonesia (UI) ini menunjukkan semangat kepahlawanannya dengan mengajar di wilayah perbatasan. Februari 2012, menjadi pembuktiannya sebagai pahlawan muda yang turun dari menara gading untuk mencerdaskan anak-anak di SDN 06 Sungai Tembaga, titik Dusun Sungai Tembaga, Desa Tinting Seligi, Kecamatan Badau, Kalimantan Barat.
Bersama rekannya, Fitrianti dan Nike, Ade menemukan hal yang memilukan hati. Pendidikan belum merata di Indonesia. Ade mendapati SD yang diajarnya hanya didukung oleh tiga guru, padahal muridnya membludak. Tak hanya itu ketidak optimalan tenaga pengajar dan kelas ini membuat anak kelas 3 SD rata-rata masih belum bisa membaca. Bukan hal mudah bagi Ade dan kawan-kawan menjalani misi mulia ini, ketika banyak orang membelanjakan uangnya untuk liburan, Ade justru rela menabung dan merogoh jutaan rupiah untuk memberikan pelita ilmu bagi anak-anak perbatasan. Ditambah perjuangan baik sebelum maupun saat berada di sana, sangat menempa fisik dan mentalnya.
Beda di Kalimantan, beda lagi dengan nasib guru para anak TKI di Sabah Malaysia. Sejak tahun 2006, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengirim guru-guru ke tengah hutan sawit di Sabah, Malaysia untuk mendidik para anak pekerja sawit asal Indonesia. Kini tidak kurang 150 guru mengajar di estat atau perkebunan di tengah belantara hutan sawit. Lokasi Doddi mengajar dan tinggal berjarak lebih dari 130 Km dari kota Lahad Datu atau hampir tiga jam perjalanan menggunakan mobil. Satu setengah jam lewat jalan raya, sisanya masuk kawasan hutan sawit yang terjal.
Hal senada juga diungkapkan Suwandi, pria asal Surabaya yang mengajar di kawasan perkebunan sawit di Kinabatangan, Sabah. Lokasi estat atau pemukimannya juga sulit dijangkau dan juga harus mengandalkan lori untuk keluar masuk ladang.
Pola mengajar seperti itu memang terjadi di semua sekolah anak para TKI. Para cikgu hanya memberi garis di papan tulis untuk membedakan pelajaran untuk jenjang pendidikan.Kisah guru-guru di perbatasan atau pedalaman memang sangat memperihatinkan. Dengan kondisi seadanya mereka tetap berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa demi masa depan mereka yang lebih baik. Selamat berjuang para Guru, sang pendidik bangsa.
Artikel selengkapnya bisa dibaca disini.
No comments:
Post a Comment