Dekan Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
Karnadi mengatakan
bahwa tidak ada maksud buruk dari perubahan kurikulum ini. Namun, ada
hal yang perlu dipertimbangkan dengan baik agar maksud baik tersebut
dapat tercapai yaitu masalah guru.
"Guru kita ini sudah lama tidak
dibiasakan untuk mengembangkan sesuatu. Hanya terbiasa menerima dan
menjabarkan dan takut salah jika tidak sesuai dengan arahan," ujar
Karnadi saat diskusi tentang kurikulum 2013 di Graha CIMB Niaga,
Jakarta, Selasa (9/4/2013).
Ia juga menjelaskan bahwa guru-guru
ini bukannya tidak mampu menjalankan kurikulum 2013. Hanya saja karena
terbiasa diarahkan, guru jadi terbatas untuk berkreasi. "Padahal mau kurikulum berubah berulang kali tidak akan masalah selama guru kreatif," ungkap Karnadi. Untuk
itu, dalam pelatihan yang digagas, guru sebaiknya tidak hanya disuguhi
panduan dari buku babon saja. Namun diajak melakukan simulasi dan
praktik-praktik yang nantinya berguna untuk diterapkan di kelas.
Pasalnya, hanya dengan menghafal saja orang mudah lupa materi yang
diberikan.
"Guru harus diajarkan untuk menciptakan suasana belajar
yang kolaboratif. Misalkan anak diajak keluar atau menyelesaikan soal
dengan contoh-contoh mainan. Jadi jangan anak-anak ditakut-takuti,"
jelas Karnadi.
Secara terpisah, hal senada juga diungkapkan
pemerhati pendidikan, Romo Benny Susetyo. Ia mengatakan bahwa kurikulum
ini memang berhasil di sekolah-sekolah tertentu seperti sekolah
internasional. Selain gurunya cukup kreatif dalam menciptakan
suasana belajar, ruang kelas juga disediakan untuk jumlah siswa yang
tidak terlalu banyak sehingga fokus. "Tidak hanya itu, dalam satu kelas
biasanya guru lebih dari satu untuk saling membantu dan menangani
anak-anak," jelas Benny.
"Jumlah anak dalam kelas juga hanya 20
orang paling banyak. Bayangkan saja 20 anak dengan guru paling tidak
tiga orang dengan sekolah negeri yang muridnya 40 dan gurunya hanya
satu," tandasnya.
No comments:
Post a Comment